Dalam rangka memperingati Hari Kartini, sebuah pameran seni rupa bertajuk Rupa Perempuan resmi digelar, menghadirkan karya-karya dari tujuh perupa perempuan yang tergabung dalam komunitas Serona dan Aprodhita. Pameran ini bukan hanya menjadi perayaan visual semata, melainkan juga ruang reflektif yang menyuarakan keberanian, kepekaan, dan kebijaksanaan perempuan melalui medium seni.

Menyuarakan Suara Perempuan Melalui Seni
Melalui karya-karya yang dipamerkan, pengunjung diajak untuk menyelami dialog antara rupa dan rasa, antara pengalaman personal seniman dengan semesta yang lebih luas. Pameran ini menjadi wujud nyata bahwa seni mampu menjadi bahasa universal yang menembus batas fisik, sosial, bahkan kultural.
Dalam sambutannya, penyelenggara menyampaikan bahwa momentum Hari Kartini tahun ini dimaknai sebagai pengingat sekaligus penggerak bahwa semangat emansipasi perempuan tak pernah usang. Perempuan hari ini tidak hanya memiliki ruang untuk berkarya, tetapi juga hak untuk didengar, dilihat, dan dirayakan melalui berbagai medium, termasuk seni rupa.
Pameran ini menghadirkan karya seni dari seniman – seniman wanita berbakat yaitu Aprodhita Wibowo, dan kolektif seni rupa, Serona, yang menghadirkan 6 wanita yang memiliki jiwa seni yang beragam yaitu, Anne Khaer, Clesia Christine, Prima Sekar Ayu, Rifka Nafia, Rumondang dan Sartika Andari. Dengan ciri khasnya masing – masing, seniman – seniman berusaha menyajikan pandangan dan gagasannya mengenai posisi perempuan dalam lingkup sosial.
Aprodhita Wibowo
Karya seni berjudul The Exhilarating Horrors of Hormones Party! menggambarkan bagaimana hormon – hormon sedang berpesta di dalam tubuh, menarik ribuan stimulan bagi jiwa dan raga seorang perempuan. Hormon banyak mengambil kendali, menghadirkan berbagai perasaan yang ramai dan bertumpang tindih, seperti layaknya pasar malam.
Sementara itu, di karyanya yang lain yang berjudul Sri, sang seniman menggambarkan bagaimana perempuan yang bermimpi untuk menjadikan dirinya sebagai seorang wanita yang sesungguhnya dengan cara belajar dari ibunya, mencuri perilaku yang tidak diajarkan sang ibu, dan meniru jika ada sifat yang diturunkan demi menjadikan dirinya sebagai seorang wanita di masa depan.
Aprodhite Wibowo
120 x 100 cm | Punch Needle & Hand Embroidery on Monk Cloth Cotton Milk Yarns | 2025
Aprodhite Wibowo
42 x 127 cm | Paper Cutting, Watercolor Paper, Watercolor, Natural Wood Frame | 2025
Anne Khaer
Dalam karyanya yang berjudul Bunga Lily di Lembah, Anne Khaer mengangkat fenomena sosial yang muncul dalam kehidupan modern, bagaimana kehidupan perempuan mengalami objektifikasi yang mengarah kepada tubuh mereka, dimana tubuh mereka hanya dijadikan sebagai objek pengawasan dan kesenangan semata. Dengan menggunakan simbol Bunga lily di lembah yang gelap, karya ini mencerminkan garis kabur antara penghormatan dan keindahan tubuh perempuan dengan pandangan yang merendahkan.
Tak hanya itu, dalam karyanya yang berjudul Mantra, Perspektif kaya yang diberikan oleh Anne Khaer berusaha untuk menyadarkan perempuan bahwa menjadi perempuan merupakan anugrah yang patut disyukuri. Meskipun dengan realita yang memandang perempuan dengan sebelah mata, keyakinan bahwa perempuan hadir di dunia dikarenakan karunia ilahi dapat menjadi pegangan yang dapat menguatkan perempuan untuk terus berjuang.
Anne Khaer
100 x 100 cm | Acrylic on canvas | 2024
Anne Khaer
60 x 80 cm | Acrylic on canvas | 2025
Rifka Nafia
Rifka Nafia berusaha untuk meluapkan sendunya di dalam karya yang berjudul Untukmu, yang Tak Pernah Pulang. Di dalam lukisan ini, sang seniman berusaha untuk menangkap momen hening yang dibalut dengan rindu, bagaimana kasih sayang yang tidak tahu terlambat disampaikan atau malah tidak pernah tersampaikan sama sekali. Namun, cinta tetap menunggu di ambang pintu. Karya ini berhasil menyampaikan arti sebuah persembahan bagi seseorang yang telah lama tiada, namun tak pernah benar – benar hilang dari hati.
Dalam karya lainnya, The Unsent Letters, Sang Seniman menggambarkan kesedihan dan kerinduan yang dialami seorang anak yang sedang menulis surat kepada ibunya yang telah tiada. Surat – surat tersebut beterbaran dengan acak, menggambarkan perasaan sedih yang membuncah, kata – kata yang tidak sempat tersampaikan, cinta yang tertahan, dan cerita – cerita yang hendak dikabarkan.
Rifka Nafia
80 x 60 cm | Acrylic on canvas | 2025
Rifka Nafia
80 x 60 cm | Acrylic on canvas | 2025
Clesia Christine
Dalam karyanya yang berjudul The Empty Vase, Clesia Christine menggarisbawahi anggapan yang keliru yang sempat muncul di tengah pengaruh modernisasi, dimana perempuan yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga dianggap tidak memiliki ambisi hidup. Padahal, perempuan memiliki hak dan kebebasan untuk bermimpi dan menjalani peran apapun, tanpa harus terbelenggu akan stigma yang ada di dalam kehidupan sosial.
Clesia Christine
70 x 90 cm | Mixed Media | 2025
Prima Sekar Ayu
Karya yang berjudul Terikat Alam memiliki arti kebencian yang tak pernah terucap, terbungkam di dalam hati dan tidak pernah tersampaikan, bahkan ketika perempuan sudah meninggal. Alam, dengan baik hati, menenangkan dan menetralkan energi kebencian yang meraung. Dalam diamnya tanah dan semilir angin, kemarahan itu perlahan luruh, dan jiwa pun kembali menemukan keseimbangannya.
Di karya lainnya dengan judul Harum Sekar di Ujung Merana, Prima Sekar Ayu mengutarakan bahwa perempuan diharapkan untuk senantiasa memberi kasih tanpa mengharapkan imbalan. Ini bukan berarti mengabaikan rasa ikhlas dan kelapangan hati, tetapi celah inilah yang sering kali dimanfaatkan untuk memperlakukan perempuan secara semena-mena. Sebagai perempuan, mereka sering diposisikan sebagai sosok pasif yang hanya bisa patuh, harus selalu lembut dalam setiap gerak-geriknya, anggun dalam tutur kata, dan tak tercela dalam perilaku. Mereka seolah untuk berperan seperti dewi yang turun dari kahyangan, memenuhi segala permintaan makhluknya, bahkan dengan mengorbankan dirinya. Perempuan, dalam banyak perspektif, menjadi objek pengorbanan yang tak pernah berhenti, meski hak-haknya sering kali terabaikan.
Prima Sekar Ayu
60 x 60 cm | Mixed Media on Wood Board | 2025
Prima Sekar Ayu
60 x 60 cm | Mixed Media on Wood Board | 2025
Rumondang
Dalam karyanya yang berjudul Broken Angel, sang seniman menyentuh tema yang lebih dalam mengenai perjuangan perempuan yang terjebak dalam tuntutan untuk menjadi malaikat—selalu baik, murni, dan tanpa cela, dimana perempuan sering kali dihukum hanya karena berani menentukan pilihan hidupnya sendiri, dengan citra malaikat yang seolah tak pernah memberi ruang untuk ketidaksempurnaan. Di balik citra tersebut, terdapat luka dan ketegangan batin yang sulit untuk diterima oleh masyarakat.
Di karyanya yang lain yang berjudul Pretty Little Devil, Rumodang berusaha menggambarkan kontras antara citra perempuan yang sering dipaksakan untuk mematuhi norma-norma yang dianggap baik dan suci. Karya ini menggambarkan perempuan yang tidak takut menunjukkan sisi lain dirinya, meski kerap kali dihakimi karena pilihan hidup yang dianggap bertentangan dengan ekspektasi masyarakat.
Growth menggambarkan perjalanan seorang anak perempuan yang sedang bertumbuh, yang tampak dengan pakaian cokelat yang sederhana namun penuh makna, mencerminkan kehangatan dan kedalaman dalam proses tumbuh kembangnya. Warna cokelat pada baju menggambarkan kedekatannya dengan tanah dan akar yang memberinya kekuatan, sementara latar belakang pastel yang lembut melambangkan dunia penuh kemungkinan dan kelembutan, tempat anak ini mulai mengeksplorasi setiap langkahnya.
Rumodang
50×50 cm | Acrylic on Canvas | 2024
Rumodang
50×50 cm | Acrylic on Canvas | 2024
Rumodang
70×90 cm | Acrylic on Canvas | 2024
Sartika Andari
dalam karyanya yang bertajuk Tender Armor, Sartika Andari mengutarakan bahwa di dalam satu tubuh yang sunyi, perempuan kerap menyimpan kekuatan yang tak terlihat. Kekuatan yang ia miliki bukanlah yang membentak dunia, melainkan yang diam-diam bertahan di dalamnya. Itulah kekuatan yang tak selalu terlihat, namun nyata dalam cara ia melindungi dirinya sendiri tanpa kehilangan sisi manusiawinya.
Sartika Andari
70×90 cm | Acrylic on Canvas | 2025
Pameran ini berlangsung dari 21 April 2025 hingga 30 Juni 2025, memberikan kesempatan bagi para pengunjung untuk menyelami karya seni yang penuh makna di public area hotel yakni lobby dan SMARA Restaurant.
Selain menjadi tuan rumah pameran Rupa Pameran, GRAMM HOTEL by Ambarrukmo juga sangat terbuka untuk berbagai bentuk kolaborasi dengan komunitas. Hotel ini berkomitmen untuk menyediakan ruang kreatif bagi seniman lokal agar mereka dapat terus berkarya dan memperluas jaringan mereka. Dengan adanya kolaborasi ini, diharapkan semakin banyak seniman yang mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan bakat mereka kepada khalayak yang lebih luas
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan kunjungi website resmi kami atau hubungi 0811 285 0088